ABSTRAK
Kebebasan berkontrak (Party Autonomy
atau Freedom of Contract) hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam
sistem hukum perjanjian baik dalam sistem Civil
Law Sistem, Common Law Sistem maupun dalam sistem hukum lainnya. Hal ini
dikarenakan asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang bersifat
universal berlaku di semua Negara. Di samping itu asas kebebasan berkontrak
sebagai perwujudan atas pengakuan hak asasi manusia.
Kebebasan berkontrak hanya dapat
mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang.
Faktanya kedudukan para pihak dalam perjanjian sering kali tidak seimbang
sehingga dimungkinkan sekali pihak yang punya kedudukan yang lemah pada suatu
perjanjian akan dirugikan.
Melihat hal tersebut dalam perkembangannya
penerapan asas kebebasan berkontrak pada perjanjian dibatasi pemberlakuannya,
oleh Negara dengan peraturan – peraturan perundang – undangannya dan oleh hakim
pengadilan dengan melalui putusan – putusannya serta praktek – praktek kebutuhan
kegiatan ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan asumsi yang berkembang adalah bahwa
memegang teguh ajaran asas kebebasan berkontrak secara mutlak dapat menyebabkan
dan melahirkan ketidakadilan dalam suatu perjanjian.
Kata
kunci : Pembatasan, Asas kebebasab berkontrak, Perjanjian.
PENDAHULUAN
A. SEJARAH
Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh Belanda yang telah menancapkan pilar – pilar ketentuan yang mengikat
antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri.
Sistem hukum yang dimaksud adalah hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum
Romawi Jerman.
Adapun sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi
Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa
Kontinental) oleh negara – negara seperti Perancis, Spanyol, Portugis dan lain
– lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari
Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan
sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang
dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law[1]) yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini
lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.
Selain sistem civil law, juga
dikenal dengan adanya sistem common law. Rene David dan Jhon E.C. Brierley
menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum civil
law, common law dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem
socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana
negara – negara sosialis banyak menganut sistem civil law.[2]) Sehubungan dengan hal tersebut
diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu
sistem hukum civil law dan common law.
Sistem common law bersumber dari
hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh
Hakim (Judge) dalam keputusan – keputusan yang telah diambilnya (judge made
law).
Umumnya di Negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum
dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke - 19 di pegang asas hukum
yang bernama The Rule of Precedent yaitu
keputusan – keputusan hakim yang sudah
ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan
hakim sebelumnya. The Rule of Precedent sering disebut juga sebagai doktrin
stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions
(berpegang/berpatokan pada putusan – putusan sebelumnya). [3])
Sistem hukum common law ini dianut
oleh negara – negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya,
seperti Negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara
bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut
sistem hukum civil law.
Sekilas mengenai perbedaan antara
civil law (Eropa Continantal) dengan common law (Anglo Saxon) dapat dilihat
dari segi perkembangan yang terdapat pada universitas – universitas, yang
menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan
perkembangan sistem common law pada putusan – putusan hakim, yang bukan hanya
menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.[4])
Hukum di negara dengan sistem civil
law pada umumnya ditujukan untuk menetapkan suatu kaidah atau norma yang berada
di suatu lingkungan masyarakat untuk diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, hukum merupakan bagian integral dari kehidupan
bersama yang mengatur dan menguasai sesama manusia. Jadi dapat dikatakan hukum
terdapat dalam masyarakat manusia sehingga dalam setiap masyarakat selalu ada
sistem hukum[5]).
Hal ini sesuai adagium, ubi societas
ubi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Berbeda dengan
sistem hukum common law yang tidak mengenal pembagian secara prinsipil atas
hukum publik dan hukum perdata, maka pada sistem hukum civil law pembagian
hukum publik dan hukum perdata (privat) merupakan hal yang sangat esensial.
Hukum publik pada umumnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan
umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Pelaksanaan
peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum
antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap
yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.
Pelaksanaannya diserahkan kepada masing – masing pihak[6]). Perkataan “Hukum Perdata” dalam
arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan – kepentingan
perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia
atau masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia
Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di
Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische Staatsregeling, yang dalam
pokoknya sebagai berikut. [7])
Hukum Perdata dan Dagang (begitu
pula dengan Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus
diletakkan dalam kitab – kitab atau undang – undang yaitu dikodifisir. Untuk
golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang – undangan yang berlaku di
negeri Belanda (asas konkordansi).
Untuk golongan bangsa Indonesia asli
dan Timur Asing (Tiong Hoa, Arab, India dan sebagainya), jika ternyata
“kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan –
peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun
dengan perubahan – perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan
baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan – aturan yang berlaku di
kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan
umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).
Orang Indonesia asli dan Timur
Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan
bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.
Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai
suatu perbuatan tertentu saja.
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis didalam undang – undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat” (ayat 6).
Dengan adanya ketentuan tersebut
diatas, maka pengaturan untuk tunduk terhadap hukum perdata dapat
diklasifikasikan sehingga jelas aturan hukum yang mengatur hubungan antar
sesama masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan sosial bangsa
Indonesia saat itu, dapat pula kemungkinan terjadinya penundukan diri pada
Hukum Eropa yang telah diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 12. Peraturan ini
mengenal empat macam penundukan, antara lain[8]) hukum kekayaan harta benda saja
(vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing
bukan Tiong Hoa.
Penundukan secara “diam – diam” ,
yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu
perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara
diam – diam menundukkan dirinya pada
hukum Eropa.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan
kodifikasi atas hukum perdata dengan memuat sekumpulan peraturan perundang –
undangan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang
dikenal dengan istilah Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut
KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia Belanda ini hingga
kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materiil. Adapun sistematika yang
dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat (4) buku ini adalah sebagai berikut
:
1. Buku
I yang bertitel “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum
Keluarga.
2. Buku
II yang bertitel “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
3. Buku
III yang bertitel “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak
– hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang – orang atau pihak – pihak
tertentu.
4. Buku
IV yang bertitel “Perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa), memuat perihal
alat – alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan – hubungan hukum.
Sedangkan Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazimnya dibagi dalam
empat bagian[9]) :
a. Hukum
tentang diri seseorang : memuat peraturan – peraturan tentang manusia sebagai
subjek dalam hukum, peraturan –
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak – hak dan kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya itu serta hal – hal yang
mempengaruhi kecakapan – kecakapan itu.
b. Hukum
kekeluargaan : mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang timbul dari
hubungan kekeluargaan.
c. Hukum
kekayaan : mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang.
d. Hukum
warisan : mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jika
meninggal.
B. Latar
Belakang Hukum Perjanjian
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang
kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi
KItab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10]),
bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang perikatan, dimana
hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak – hak
dan kewajiban yang berlaku terhadap orang – orang atau pihak – pihak tertentu.
Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum
tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan, karena hal ini merupakan perpaduan
antar kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal – hal
yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai
dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal
sebagi kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat – syarat mengenai
sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer,
antara lain sebagai berikut :
1. Sepakat
mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu
hal tertentu;
4. Suatu
sebab yang halal.
Dengan dipenuhinya empat syarat
sahnya perjanjian tersebut, maka istilah hukum perjanjian atau kontrak
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht[11]).
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal[12]).
Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya.
Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Maka
hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum
adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena
timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan
kewajiban merupakan beban. Adapun unsur – unsur yang tercantum dalam hukum
perjanjian atau kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut[13]) :
1.
Adanya
kaidah hukum
Kaidah
dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan
tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah – kaidah hukum
yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat, seperti jual beli lepas, jual
beli tahunan dan lain sebagainya. Konsep – konsep hukum ini berasal dari hukum
adat.
2.
Subjek
hukum
Istilah
lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang,
sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3.
Adanya
prestasi
Prestasi
adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi
umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut :
a.
Memberikan
sesuatu;
b.
Berbuat
sesuatu;
c.
Tidak
berbuat sesuatu.
4.
Kata
sepakat
Di
dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti
dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan ialah pernyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5.
Akibat
hukum
Setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
Dalam
aspek kegiatan hukum sehari – hari dibidang perekonomian banyak ditemukan
perbuatan – perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak
antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian – perjanjian
dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang – undang.
Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan pasal
1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam)
bagian, yaitu :
1.
Judul
perjanjian;
2.
Pembukaan;
3.
Pihak
– pihak dalam perjanjian;
4.
Recital;
5.
Isi
perjanjian;
6.
Penutup.
Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula umum
seperti :
1.
Wanprestasi;
2.
Pilihan
hukum dan pilihan forum;
3.
Domisili;
4.
Force
major.
Yang
banyaknya tergantung dari kesepakatan para pihak.
Keberadaan suatu kontrak tidak
terlepas dari asas – asas yang mengikatnya. Asas – asas dalam berkontrak mutlak
harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan
perbuatan – perbuatan hukum.
Namun demikian, seringkali ditemui
ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan asas – asas yang berlaku
dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena disebabkan kekurangpahaman
para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka. Oleh sebab itu timbul pertanyaan
meliputi asas – asas apa sajakah yang berlaku dalam melakukan suatu kontrak
atau perjanjian.
C. Tujuan
Pada kesempatan ini, kami mencoba
memberikan pemaparan mengenai pentingnya perlindungan bagi para pihak dalam
melakukan suatu kontrak atau perjanjian ditinjau dari asas – asas berkontrak
(contract principles).
Tujuan umum dari makalah ini adalah
untuk menyampaikan gambaran secara historis yuridis kepada khalayak umum
mengenai hal – hal yang harus diperhatikan dalam membuat kontrak yang berkaitan
dengan perbuatan hukum.
Sedangkan tujuan khusus adalah untuk
memahami karakteristik suatu kontrak yang bersifat terbuka yang didasarkan pada
prinsip – prinsip dan teori – teori Ilmu Hukum.
PEMBAHASAN
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
hukum kontrak atau perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer yang terdiri atas 18
bab dan pasal 631. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864 KUHPer.
Secara garis besar, perjanjian yang diatur dikenal di dalam KUHPer adalah
perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, kerja, persekutuan perdata,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi,
untung – untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori
ilmu hukum, perjanjian – perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat.
Diluar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture,
kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa,
kontrak rahim dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian
innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam
praktik kehidupan masyarakat.
A. Sistem
Pengaturan Hukum Kontrak
Sistem pengaturan hukum kontrak
adalah sistem terbuka (open sistem), yang mengandung maksud bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum
diatur di dalam undang – undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas
menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang
– undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka
ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
3. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya serta;
4. Menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Ditinjau dalam sejarah
perkembanagnnya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya
para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang – undang. Hal
ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak
ada hukum di luar undang – undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam
berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919[14]) .
Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919
merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer.
Dalam
putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang
– undang saja, tetapi juga melanggar hak – hak subjektif orang lain, kesusilaan
dan ketertiban umum. Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan
hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang
:
1. Melanggar hak orang lain, yang diartikan melanggar
sebagian hak – hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan dan
lain – lain. Termasuk dalam hal ini hak – hak absolut seperti hak kebendaan,
HKI dan sebagainya.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, yaitu hanya
kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang – undang.
3. Bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan
dalam masyarakat.
Aturan
tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu :
1. Aturan
– aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya;
2. Aturan
– aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan
kepentingannya sendiri.
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat
kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan
melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas.
Dengan demikian, sejak terbitnya putusan
HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka.
Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud
dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat,
yaitu suatu sebab salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu
sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan pasal 1337 KUHPer. Dengan
demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada
pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang
undang – undang dan berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
B. Karakteristik
Kontrak
Untuk melaksanakan kewajiban sendiri
(self imposed obligation), disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan
karena pelanggaran terhadap kewajiban – kewajiban yang ditentukan dalam
kontrak, murni menjadi urusan pihak – pihak yang berkontrak[15]).
Kontrak dalam bentuk yang paling
klasik dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan
mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of
contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice) [16]) .
Sejak
abad ke – 19 prinsip – prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai
pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh :
1. Tumbuhnya
bentuk – bentuk kontrak standar;
2. Berkurangnya
makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak sebagai akibat meluasnya campur
tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat;
3. Masuknya
konsumen sebagai pihak dalam berkontrak.
Ketiga faktor ini berhubungan satu
sama lain[17]).
Tetapi prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang
sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.
C. Asas
– asas Hukum Kontrak
Berdasarkan teori, di dalam suatu
hukum kontrak terdapat lima (5) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata.
Kelima asas itu antara lain adalah :
1. Asas
Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan
berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang
berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang –
undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta;
d. Menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang
pesat dalam zaman renaissance antara lain melalui ajaran – ajaran Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rosseau[18]).
Menurut paham individualisme, setiap
orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak
asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori Leisbet Fair ini
menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas. Karena pemerintah sama
sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat.
Paham individualisme memberikan
peluang yang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk menguasai golongan ekonomi
lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang
diungkap dalam exploitation de home par
l’homme.
Pada
akhir abad – 19 akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme
mulai pudar, terlebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian
tidak mencerminkan keadilan, masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih
banyak mendapat perlindungan.
Oleh karena itu kehendak bebas tidak
lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu
dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata – mata
dibiarkan kepada para Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak
ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah sehingga
terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak atau perjanjian.
2. Asas
Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah penyesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul didasari dari hukum Romawi dan
hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme,
tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa
akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah
contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas
Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas Pacta Sunt Servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang –
undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal
1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam
hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya asas Pacta Sunt Servanda diberi arti sebagai
pactum yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah dengan sumpah sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
4. Asas
Itikad baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada
akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma – norma yang objektif. Berbagai putusan
Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat
diperhatikan dalam kasus – kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol
adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua Arrest ini berkaitan dengan
turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.[19])
Kasus Sarong Arrest pada tahun 1918
suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar
kesepakatan bersama memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi.
Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual
bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila
harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad
baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan yang penjual ajukan atas
dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh HR dalam Arrest tersebut.
Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar
perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik
untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi
harapan tentang hal ini dengan memformulasikan mengubah inti perjanjian atau
mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang
lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan
secara keseluruhan.
Putusan HR ini selalu berpatokan
pada saat dibuatnya oleh para pihak, apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang
dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena
didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kasus Mark Arrest sebelum Perang
Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada
seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada
sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat dari peperangan nilai Mark sangat
menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli perangko
sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi
atas dasar devaluasi tersebut.
Namun pasal 1757 KUHPer menyatakan,
“Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada
perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam
harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu”. Hoge Raad
menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian
bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan
bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu.
Menurut hakim pada badan peradilan
tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil
tindakan terhadap undang – undang yang bersifat menambah. Putusan Mark Arrest
ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asa itikad baik, artinya
hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat
pinjam meminjam uang.
Apabila orang Belanda meminjam uang
sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak
jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah
terjadi devaluasi uang. Belanda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997
dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi.
Pihak perbankan telah mengadakan
perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada
saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16% per
tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi
21–24% per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang
dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low
bargaining position). Oleh karena itu, pada masa – masa yang akan datang pihak
kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya
yang dilandasi pada asas itikad baik.
5. Asas
Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan atau membuat konrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUHPer menegaskan
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer yang berbunyi “perjanjian hanya berlaku
antar pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung
suatu syarat semacam itu”.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu
syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang – orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika
dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian
untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya
sendiri, ahli warisnya dan orang – orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.
D. Asas
– Asas Hukum Perikatan Nasional
Disamping kelima asas yang telah diuraikan
diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 - 19
Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan
nasional[20]). Kedelapan asas tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Asas
Kepercayaan
Asas kepercayaan
mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan
memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka dibelakang hari.
2. Asas
Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum
mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda –
bedakan antar satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit,
agama dan ras.
3. Asas
Keseimbangan
Asas keseimbangan
adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun
debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik.
4. Asas
Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur
hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan
mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang – undang bagi yang membuatnya.
5. Asas
moralitas
Asas moral ini terikat
dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada
yang bersangkutan melakukan perbuatan.
6. Asas
Kepatutan
Asas kepatutan tertuang
dalam Pasal 1339 KUHPer, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi
perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7. Asas
kebiasaan
Asas ini dipandang
sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa
yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal – hal yang menurut kebiasaan
lazim diikuti.
8. Asas
perlindungan
Asas perlindungan mengandung
pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak
ini berada pada posisi yang lemah. Asas – asas inilah yang menjadi dasar
pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak atau
perjanjian dalam kegiatan hukum sehari – hari. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak atau perjanjian sehingga tujuan akhir dari
suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh
para pihak.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembicaraan diatas
bahwa perjanjian atau kontrak itu merupakan sumber perikatan yang terpenting.
Dari apa yang diterangkan di situ dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu
pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau
suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh
dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sehingga perjanjian yang
mereka buat merupakan undang – undang bagi mereka untuk melaksanakannya.
Untuk memahami dan membentuk suatu
perjanjian maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan
Pasal 1320 KUHPer yaitu syarat subjektif, adanya kata sepakat untuk mengikat
dirinya dan kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, sedangkan
syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Oleh
sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat suatu kontrak atau
perjanjian harus memahami asas – asas yang berlaku dalam dasar suatu kontrak
atau perjanjian antara lain asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme,
asas kepastian hukum (pacta sunt servanda) asas itikad baik dan asas
kepribadian. Dari kelima asas yang berdasarkan teori ilmu hukum tersebut
ditambahkan delapan asas hukum perikatan nasional yang merupakan hasil rumusan
bersama berdasarkan kesepakatan nasional antara lain asas kepercayaan, asas
persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moralitas, asas
kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan. Dengan demikian telah diketahui
bersama mengenai asas – asas yang berlaku secara umum dalam hal membentuk atau
merancang suatu kontrak di dalam kegiatan hukum.
B. Saran
Bagi para pihak yang akan membuat
atau mengadakan suatu perjanjian atau kontrak sebaiknya terlebih dahulu memahami
dan mengerti mengenai dasar – dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai
asas – asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani perjanjian
atau kontrak tersebut sehingga dapat terhindar dari hal – hal yang tidak
diinginkan sebelum kontrak yang akan ditandatanganinya, sehingga jelas akan hak
dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak.
Umumnya hal ini ditujujan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang lemah.
DAFTAR
PUSTAKA
Atiyah.
The Law of Contract. London : Claredon Press, 1983
Devid,
Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal Systems in the World Today. London :
Stevens & Sons, 1978.
Mertokusumo,
Sudikno. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,
1999.
Rusli,
Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta : Pustaka Sinar
harapan, 1996.
Salim
H.S. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar
Grafika, 2004.
_______dan
R. Tjitrosudibio. Kitab Undang _ Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
terjemahan. Cet. 28. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1996.
Tim
Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan, Jakarta : Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1985.
[1]) Rene Devid and Jhon, E.C. Brierly : “Major Legal System in the World
Today”, Second Edition, (London : Steven & Sons, 1978), hal.21.
[3]) Hardijan Rusli, SH, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, Cetakan
Kedua, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16.
[5]) Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum : Suatu Pengantar”, Cetakan
Kedua, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), hal. 28.
[7]) Prof. Subekti, SH, “Pokok – Pokok Hukum Perdata”. Cetakan XXVI, (Jakarta :
PT. Intermasa, 1994), hal. 11.
[10]) Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, :Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata = Burgelijk Wetboek (terjemahan)’, Cetakan 28, (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 1996), hal. 323.
[11]) Salim H.S, SH, MS, “Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan
Kontrak”. Cetakan II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 3.
[20]) Tim Naskah Akademis BPHN, :Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan’,
(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar