Jumat, 11 Mei 2012

asas - asas kebebasan berkontrak


ABSTRAK
            Kebebasan berkontrak (Party Autonomy atau Freedom of Contract) hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum perjanjian baik dalam sistem Civil Law Sistem, Common Law Sistem maupun dalam sistem hukum lainnya. Hal ini dikarenakan asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang bersifat universal berlaku di semua Negara. Di samping itu asas kebebasan berkontrak sebagai perwujudan atas pengakuan hak asasi manusia.

            Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Faktanya kedudukan para pihak dalam perjanjian sering kali tidak seimbang sehingga dimungkinkan sekali pihak yang punya kedudukan yang lemah pada suatu perjanjian akan dirugikan.

            Melihat hal tersebut dalam perkembangannya penerapan asas kebebasan berkontrak pada perjanjian dibatasi pemberlakuannya, oleh Negara dengan peraturan – peraturan perundang – undangannya dan oleh hakim pengadilan dengan melalui putusan – putusannya serta praktek – praktek kebutuhan kegiatan ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan asumsi yang berkembang adalah bahwa memegang teguh ajaran asas kebebasan berkontrak secara mutlak dapat menyebabkan dan melahirkan ketidakadilan dalam suatu perjanjian.

Kata kunci : Pembatasan, Asas kebebasab berkontrak, Perjanjian.






PENDAHULUAN
A.    SEJARAH
            Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar – pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi Jerman.

            Adapun  sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara – negara seperti Perancis, Spanyol, Portugis dan lain – lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law[1]) yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.

            Selain sistem civil law, juga dikenal dengan adanya sistem common law. Rene David dan Jhon E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum civil law, common law dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana negara – negara sosialis banyak menganut sistem civil law.[2]) Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law.

            Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan – keputusan yang telah diambilnya (judge made law).

            Umumnya di Negara dengan sistem  hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke - 19 di pegang asas hukum yang bernama The Rule of  Precedent yaitu keputusan – keputusan  hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The Rule of Precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang/berpatokan pada putusan – putusan sebelumnya). [3])

            Sistem hukum common law ini dianut oleh negara – negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti Negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut sistem hukum civil law.

            Sekilas mengenai perbedaan antara civil law (Eropa Continantal) dengan common law (Anglo Saxon) dapat dilihat dari segi perkembangan yang terdapat pada universitas – universitas, yang menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan perkembangan sistem common law pada putusan – putusan hakim, yang bukan hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.[4])

            Hukum di negara dengan sistem civil law pada umumnya ditujukan untuk menetapkan suatu kaidah atau norma yang berada di suatu lingkungan masyarakat untuk diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama yang mengatur dan menguasai sesama manusia. Jadi dapat dikatakan hukum terdapat dalam masyarakat manusia sehingga dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum[5]).

            Hal ini sesuai adagium, ubi societas ubi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Berbeda dengan sistem hukum common law yang tidak mengenal pembagian secara prinsipil atas hukum publik dan hukum perdata, maka pada sistem hukum civil law pembagian hukum publik dan hukum perdata (privat) merupakan hal yang sangat esensial. Hukum publik pada umumnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.

            Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing – masing pihak[6]). Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur  kepentingan – kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische Staatsregeling, yang dalam pokoknya sebagai berikut. [7]) 

            Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula dengan Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab – kitab atau undang – undang yaitu dikodifisir. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang – undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).

            Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tiong Hoa, Arab, India dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan – peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan – perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan – aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).

            Orang Indonesia asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri  pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja.

            Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang – undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat” (ayat 6).

            Dengan adanya ketentuan tersebut diatas, maka pengaturan untuk tunduk terhadap hukum perdata dapat diklasifikasikan sehingga jelas aturan hukum yang mengatur hubungan antar sesama masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan sosial bangsa Indonesia saat itu, dapat pula kemungkinan terjadinya penundukan diri pada Hukum Eropa yang telah diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, antara lain[8]) hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa.

            Penundukan secara “diam – diam” , yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam – diam  menundukkan dirinya pada hukum Eropa.

            Pemerintah Hindia Belanda melakukan kodifikasi atas hukum perdata dengan memuat sekumpulan peraturan perundang – undangan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia Belanda ini hingga kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materiil. Adapun sistematika yang dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat (4) buku ini adalah sebagai berikut :

1.      Buku I yang bertitel “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga.
2.      Buku II yang bertitel “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
3.      Buku III yang bertitel “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak – hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang – orang atau pihak – pihak tertentu.
4.      Buku IV yang bertitel “Perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa), memuat perihal alat – alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan – hubungan hukum. Sedangkan Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazimnya dibagi dalam empat bagian[9]) :
a.       Hukum tentang diri seseorang : memuat peraturan – peraturan tentang manusia sebagai subjek  dalam hukum, peraturan – peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak – hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya itu serta hal – hal yang mempengaruhi kecakapan – kecakapan itu.
b.      Hukum kekeluargaan : mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
c.       Hukum kekayaan : mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
d.      Hukum warisan : mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jika meninggal.

B.     Latar Belakang Hukum Perjanjian
            Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi KItab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10]), bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak – hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang – orang atau pihak – pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan, karena hal ini merupakan perpaduan antar kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal – hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagi kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat – syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer, antara lain sebagai berikut :
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      Suatu hal tertentu;
4.      Suatu sebab yang halal.

            Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht[11]). Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal[12]). Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

            Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

            Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur – unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian atau kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut[13])  :

1.      Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah – kaidah hukum yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat, seperti jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain sebagainya. Konsep – konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
2.      Subjek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3.      Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut :
a.       Memberikan sesuatu;
b.      Berbuat sesuatu;
c.       Tidak berbuat sesuatu.
4.      Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah pernyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5.      Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

            Dalam aspek kegiatan hukum sehari – hari dibidang perekonomian banyak ditemukan perbuatan – perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian – perjanjian dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang – undang. Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan pasal 1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.

Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu :
1.      Judul perjanjian;
2.      Pembukaan;
3.      Pihak – pihak dalam perjanjian;
4.      Recital;
5.      Isi perjanjian;
6.      Penutup.

Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula umum seperti :
1.      Wanprestasi;
2.      Pilihan hukum dan pilihan forum;
3.      Domisili;
4.      Force major.
Yang banyaknya tergantung dari kesepakatan para pihak.

            Keberadaan suatu kontrak tidak terlepas dari asas – asas yang mengikatnya. Asas – asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan perbuatan – perbuatan hukum.

            Namun demikian, seringkali ditemui ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan asas – asas yang berlaku dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena disebabkan kekurangpahaman para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka. Oleh sebab itu timbul pertanyaan meliputi asas – asas apa sajakah yang berlaku dalam melakukan suatu kontrak atau perjanjian.

C.     Tujuan
            Pada kesempatan ini, kami mencoba memberikan pemaparan mengenai pentingnya perlindungan bagi para pihak dalam melakukan suatu kontrak atau perjanjian ditinjau dari asas – asas berkontrak (contract principles).

            Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk menyampaikan gambaran secara historis yuridis kepada khalayak umum mengenai hal – hal yang harus diperhatikan dalam membuat kontrak yang berkaitan dengan perbuatan hukum.
            Sedangkan tujuan khusus adalah untuk memahami karakteristik suatu kontrak yang bersifat terbuka yang didasarkan pada prinsip – prinsip dan teori – teori Ilmu Hukum.




























PEMBAHASAN

            Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum kontrak atau perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer yang terdiri atas 18 bab dan pasal 631. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864 KUHPer. Secara garis besar, perjanjian yang diatur dikenal di dalam KUHPer adalah perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung – untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian – perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Diluar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.

A.    Sistem Pengaturan Hukum Kontrak
           
            Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open sistem), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang – undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1.      Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.      Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3.      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya serta;
4.      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

            Ditinjau dalam sejarah perkembanagnnya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang – undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang – undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919[14]) . Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer.

            Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang – undang saja, tetapi juga melanggar hak – hak subjektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang  :
1.      Melanggar hak orang lain, yang diartikan melanggar sebagian hak – hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan dan lain – lain. Termasuk dalam hal ini hak – hak absolut seperti hak kebendaan, HKI dan sebagainya.
2.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, yaitu hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang – undang.
3.      Bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4.      Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat.

Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu :
1.      Aturan – aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya;
2.      Aturan – aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri.

            Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas.

            Dengan demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka. Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan pasal 1337 KUHPer. Dengan demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang undang – undang dan berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

B.     Karakteristik Kontrak
            Untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation), disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban – kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak – pihak yang berkontrak[15]).

            Kontrak dalam bentuk yang paling klasik dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice) [16]) .

            Sejak abad ke – 19 prinsip – prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh :
1.      Tumbuhnya bentuk – bentuk kontrak standar;
2.      Berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat;
3.      Masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak.
            Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain[17]). Tetapi prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.

C.     Asas – asas Hukum Kontrak
            Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat lima (5) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah :

1.      Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a.       Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta;
d.      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

            Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance antara lain melalui ajaran – ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rosseau[18]).

            Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori Leisbet Fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas.  Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

            Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk menguasai golongan ekonomi lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de home par l’homme.
           
            Pada akhir abad – 19 akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan, masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan.

            Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata – mata dibiarkan kepada para Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah sehingga terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak atau perjanjian.

2.      Asas Konsensualisme (concensualism)
      Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah penyesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul didasari dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3.      Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
      Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang – undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas Pacta Sunt Servanda diberi arti sebagai pactum yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah dengan sumpah sudah cukup dengan kata sepakat saja.

4.      Asas Itikad baik (good faith)
            Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma – norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus – kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua Arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.[19])

            Kasus Sarong Arrest pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar kesepakatan bersama memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.

            Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh HR dalam Arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini dengan memformulasikan mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.

            Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak, apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

            Kasus Mark Arrest sebelum Perang Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat dari peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli perangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut.

            Namun pasal 1757 KUHPer menyatakan, “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu”. Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu.

            Menurut hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang – undang yang bersifat menambah. Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat pinjam meminjam uang.
            Apabila orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Belanda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi.

            Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16% per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21–24% per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining position). Oleh karena itu, pada masa – masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya yang dilandasi pada asas itikad baik.

5.      Asas Kepribadian (personality)
      Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat konrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUHPer menegaskan “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer yang berbunyi “perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

      Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

      Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang – orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang – orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.

D.    Asas – Asas Hukum Perikatan Nasional

            Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 - 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional[20]). Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka dibelakang hari.
2.      Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda – bedakan antar satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras.
3.      Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.



4.      Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang – undang bagi yang membuatnya.
5.      Asas moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan.
6.      Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7.      Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal – hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8.      Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas – asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak atau perjanjian dalam kegiatan hukum sehari – hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak atau perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.




PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Kesimpulan dari pembicaraan diatas bahwa perjanjian atau kontrak itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan di situ dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sehingga perjanjian yang mereka buat merupakan undang – undang bagi mereka untuk melaksanakannya.

            Untuk memahami dan membentuk suatu perjanjian maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer yaitu syarat subjektif, adanya kata sepakat untuk mengikat dirinya dan kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, sedangkan syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Oleh sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat suatu kontrak atau perjanjian harus memahami asas – asas yang berlaku dalam dasar suatu kontrak atau perjanjian antara lain asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda) asas itikad baik dan asas kepribadian. Dari kelima asas yang berdasarkan teori ilmu hukum tersebut ditambahkan delapan asas hukum perikatan nasional yang merupakan hasil rumusan bersama berdasarkan kesepakatan nasional antara lain asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moralitas, asas kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan. Dengan demikian telah diketahui bersama mengenai asas – asas yang berlaku secara umum dalam hal membentuk atau merancang suatu kontrak di dalam kegiatan hukum.








B.     Saran
            Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian atau kontrak sebaiknya terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar – dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai asas – asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani perjanjian atau kontrak tersebut sehingga dapat terhindar dari hal – hal yang tidak diinginkan sebelum kontrak yang akan ditandatanganinya, sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujujan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah.

























DAFTAR PUSTAKA
Atiyah. The Law of Contract. London : Claredon Press, 1983

Devid, Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal Systems in the World Today. London : Stevens & Sons, 1978.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1996.

Salim H.S. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, 2004.

_______dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang _ Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) terjemahan. Cet. 28. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1996.

Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1985.


           












           


[1]) Rene Devid and Jhon, E.C. Brierly : “Major Legal System in the World Today”, Second Edition, (London : Steven & Sons, 1978), hal.21.
[2]) Ibid, hal. 25
[3]) Hardijan Rusli, SH, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, Cetakan Kedua, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16.
[4]) Ibid.
[5]) Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum : Suatu Pengantar”, Cetakan Kedua, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), hal. 28.
[6]) Ibid, hal. 122.
[7]) Prof. Subekti, SH, “Pokok – Pokok Hukum Perdata”. Cetakan XXVI, (Jakarta : PT. Intermasa, 1994), hal. 11.
[8]) Ibid, hal. 12
[9]) Ibid, hal. 16
[10]) Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, :Kitab Undang – Undang Hukum Perdata = Burgelijk Wetboek (terjemahan)’, Cetakan 28, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.
[11]) Salim H.S, SH, MS, “Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”. Cetakan II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 3.
[12]) Prof. Subekti, SH, “Hukum Perjanjian”, Cetakan XII, (jakarta : PT. Intermasa, 1990), hal. 1.
[13]) Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 4.
[14]) Ibid, hal. 8.
[15]) Atiyah, “The Law of Contract”, (London : Claredon Press, 1983), hal.1.
[16])Ibid, hal.5..
[17]) Ibid, hal.13.
[18]) Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 9.
[19]) Ibid, hal. 11.
[20]) Tim Naskah Akademis BPHN, :Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan’, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar